FIKSI : TEKS NARATIF


FIKSI: SEBUAH TEKS NARATIF

  1. Pengertian Fiksi
Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discource). Istilah fiksi dalam pengertian in berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981:61). Karya fiksi dengan demikian menyaran pada suatu karya yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Fiksi menurut Altenberg dan Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap kehidupan.
Fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati sebuah cerita, menghibur diri muntuk memperoleh kepuasan batin. Melalui sarana cerita itu pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan dalam kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang. Wellek dan Warren (1989:278-9) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.

  1. Jenis-jenis Fiksi dan Pembedanya
a.      Novel dan Cerita Pendek
Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Secara harfiah novella (bahasa Inggris)
1.      Unsur Penokohan dalam Fiksi
a.      Pengertian dan Hakikat Penokohan
Penokohan dan karakterisasi sering juga  disampaikan artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968 : 33), penokohan adalah pelukisan  gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Tokoh cerita (character menurut Abrams (1981) : 20), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan dalam memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakuup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Kewajaran fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimanapun pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri. Oleh karena pengarang yang sengaja menciptakan dunia dalam fiksi. Ia mempunyai kebebadsan penuh  untuk menampilkan  tokoh-tokoh cerita sesuai dengan seleranya, siapapun orangnya, apapun status sosialnya, bagaimanapun perwatakan nya dan permasalahan apapun yang dihadapinya. Pengarang bebas untuk menampil dan memperlakukan tokoh siapapun dia orangnya walau hal itu berbeda dengan “dunianya” sendiri di dunia nyata.
Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi. Maka ia harus bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap dan bertindak secara lain dari citranya yang telah digambarkan sebelumnya, dan karenanya merupakan suatu kejutan, hal itu haruslah tidak terjadi karenanya  merupakan suatu kejutan. Halitu haruslah tidak terjadi begitu saja, melainkan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi plot sehingga cerita tetap memilikikader plausibilitas. Atau, kalauupun tokoh itu bertindak secara “aneh” untuk ukuran kehidupan yang wajar, maka sikap dan tindakannya itu haruslah tetap konsisten.
b.      Penokohan Unsur Fiksi yang Lain
Sebagai unsur utama fiksi, penokohan erat hubungannya dengan tema. Tokoh-tokoh cerita itulah terutama, yang sebagai pelaku-penyampai tema. Secara tersambung ataupun terang-terangan. Dalam kebanyakan fiksi, tema umumnya tak dinyatakan secara ekplisit. Hal itu berarti pembacalah yang bertugas menafsirkannya. Usaha penafsiran tema antara lain dapat dilakukan melalui detil kejadian dan konflik yang menonjol. Usaha penafsiran tema haruslah dilacak dari apa yang dilakukan, dipikirkan dan dirasakan, atau apa yang ditimpakan kepada tokoh.
c.       Relevansi Tokoh
Seorang tokoh cerita, yang ciptaan pengarang itu jika disukai banyak orang dalam kehidupan nyata, apalagi sampai dipuja dan digandrungi, berarti merupakan tokoh fiksi yang mempunyai relevansi (Keny, 1996 : 27). Ialah suatu bentuk kerelevansian tokoh sering dihubungkan dengan kesepertihidupan, lifekennes. Seorang tokoh cerita dianggap relevan dengan pengalaman kehidupan bagi pembaca, kita, dan atau relevan dengan pengalaman kehidupan itu jika ia seperti kita atau orang lain yang kita ketahui. Kita sering mengharapkan tokoh yangdemikian.
Tokoh-tokoh yang aneh, misalnya tokoh orang tua dalam stasiun, atau tokoh Aku dalam Telegram dianggap tak relevan karena kurang memiliki kadar kesepertihidupan. Mungkin ada sisi-sisi tertentu dari kehidupan tokoh-tooh aneh tersebut yang juga terdapat dalam diri kita walau mungkin kita sendiri tak menyadarinya. Jika kita merasakan keadaan itu dalam pengalaman diri kita, hal itu berarti ada relevansi pada tokoh tersebut. Hal inilah yang merupakan bentuk relevansi yang kedua (Kenny, 1966: 27). Relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam kaitannya dengan berbagai unsur yang lain dan peranannya dalam cerita secara keseluruhan.

2.      Pembedaan Tokoh
a.      Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot. Dipihak lain pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan dan kehadiran hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.
Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kader keutamaannya tak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan  pengaruh terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.
b.      Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. (Altenbernd & Lewis, 1966 : 59). Segala apa yang dirasa, dipikir dan dilakukan tokoh itu sekaligus mewakili kita. Identifikasi diri terhadap  tokoh yang demikian merupakan empati yang diberikan oleh pembaca. Tokoh antagonis dapat disebut, berposisi dengan tokoh protaginis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin.
Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus yang disebabkanoleh tokoh antagonis seorang (beberapa orang) individu yang dapat ditunjuk secara jelas. Ia dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang diluar individualitas seseorang, penyebab konflik yang tak dilakukan oleh seorang tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic force (altenbernd & lewis, 1966: 59).
c.       Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana (simpel atau flat caracter)  dan tokoh kompless atau tokoh (complex atau round character).  Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seseorang tokoh sederhana bersifat datar, menontoh, hanya mencerminkan satu watak tertentu.
Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah di formulakan itu. Dengan demikian, embaca akan dengan mudah memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana.
Tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lwbih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan (Abrams, 1981: 20-1).
Tokoh kompleks, lebih sulit dipahami, terasa kurang familier karena yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh yang kurang akrap dan kurang dikenal sebelumnya. Tingkah lakunya sering tak terduga dan memberikan kejutan pada pembaca.
Pembedaan tokoh cerita kedalam sederhana atau kompleks sebenarnya lebih bersifat teoritis, sebab pada kenyataannya tidak ada ciri perbedaan yang pindah diantara keduanya. Tokoh sederhana tetap diperlukan kehadirannya dalam sebuah novel
d.      Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
e.       Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (thypical caracter) dan tokoh netral (neutral character) . Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Altenbernd & Lewis, 1966 : 60) atau  sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral di pihak lain adalah tokoh cerita yang bereaksi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita. Pelaku cerita  dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata.
Penokohan yang tipikal ataupun bukan berkaitan erat dengan makna internationalmeaning, makna internasional, makna yang tersirat yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Melalui tokoh tipikal itu pengarang tak sekedar memberikan reaksi atau tanggapan, melainkan sekaligus memperlihatkan sikapnya terhadap tokoh, permasalahan tokoh atau sikap dan tindakan tokohnya itu sendiri.

3.      Teknik Pelukisan Tokoh
a.      Teknik Ekspositori
Teknik ekplositori, yang sering juga disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung. Hal semacam itu biasanya terdapat pada tahap perkenalan. Pengarang tidak hanya memperkenalkan latar dan suasana dalam rangka menyituasikan pembaca, melainkan juga data-data kedirian tokoh cerita.
Pemertahanan pola kedirian tokoh dapat terletak pada konsentrasi pemberiansifat, sikap, watak, tingkah laku, dan juga kata-kata yang keluar dari tokoh yang bersangkutan. Pemertahanan dan atau pengulangan dalam karya fiksi, tentu saja bukan dalam pengertian irfiah melainkan lebih menyaran pada sesuatu yang mirip, sejenis dan tidak bertentangan.
Berhubungkedirian tokoh telah dideskripsikan secara jelas, pembaca seolah-olah kurang didorong dan diberi kesempatan, kurang dituntut secara aktif untuk memberikan anggapan secara imajinatif, hal itu dapat dipandang sebagai pembodohan terhadap pembaca. Disamping itu kelemahan teknik analitik yanglain adalah penuturannya yang bersifat mekanis dan kurang alami. Artinya, dalam realitas kehidupan tidak akan ditemui dekripsi kedirian seseorang yang sedemikian lengkap dan pasti.
b.      Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara ekplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.
Berhubung sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepoting-sepotong, dan tidak sekaligus. Ia baru menjadi lengkap, barangkali, setelah pembaca menyelesaikannya, atau bahkan setelah mengulang baca sekali lagi itupun masih ditambah lagi persyaratan: pembaca harus membaca secara teliti dan kritis.
Pembaca tidak hanya  bersifat pasif, melainkan sekaligus terdorong melibatkan diri secara aktif, kreatif, dan imajinatif. Kelebihan yang lain adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Adanya kebebasan pembaca untuk menafsirkan sendiri sifat-sifat tokoh cerita, disamping merupakan kelebihannya diatas, sekaligus juga dipadang sebagai kelemahan teknik dramatik (Kenny, 1966: 35).
Kelemahan teknik dramatik yanglain adalah sifatnya yang tidak ekonomis. Pelukisan kedirian seorang tokoh memerlukan banyak kata di berbagai kesempatan dengan berbagai bentuk yang relatif cukup panjang. Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Dalam sebuah fiksi, biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi, walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik.
1.      Teknik cakapan
2.      Teknik tingkah laku
3.      Teknik pikiran dan perasaan
4.      Teknik arus kesadaran
5.      Teknik reaksi tokoh
6.      Teknik reaksi tokoh lain
7.      Teknik pelukisan latar
8.      Teknik pelukisan fisik
c.       Catatan Tentang Identifikasi Tokoh
Tokoh cerita utama ataupun tambahan, hadir ke hadapan pembaca tidak sekaligus menampakkan seluruh kediriannya, melainkan sedikit demi sedikit sejalan dengan kebutuhan an perkembangan cerita. Proses pengenalan kedirian tokoh cerita secara lengkap, biasanya tidak semudah yang dibayangkan orang. Apalagi jika tokoh itu bersifat kompleks, sedang yang sederhana sekalipunjuga dibutuhkan ketelitian dan kekritisan di pihak pembaca. Proses usaha identifikasi tampaknya akan sejalan dengan usaha pengarang dalam mengembagkan tookh. Usaha pengidentifikasian yang dimaksud aalah melalui prinsip sebagai berikut.
1.        Prinsip pengulangan.
Prinsip pengulangan penting dipergunakan untuk mengembangkan dan mengungkapkan sifat kedirian tokoh cerita. Teknik pengulangan ini dapat berupa penggunaan teknik ekspoitori dan teknik dramatik, baik secara sendiri maupun keduanya sekaligus.
2.        Prinsip pengumpulan.
Seluruh kedirian tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam cerita seluruh cerita. Usaha pengidentifikasian tokoh, dengan demikian, dapat dilakukan dengan mengumpulkan data-data kedirian yang tercecer id seluruh cerita tersebut, sehingga akhirnya diiperoleh data yang lengkap. Pengumpulan data penting, sebab data-data kedirian yang berserakan itu dapat digunakan sehingga bersifat saling melengkapi dan menghasilkan gambaran yang padu tentang kedirian tokoh yang bersangkutan (Luxemburg dkk, 1992 : 140).
3.        Prinsip kedirian dan pertentangan
Identifikasi tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan. Seorang tokohmungkin saja memiliki sifat kedirian yang mirip dengan orang lain, namun tentu saja ia juga memiliki perbedaan-perbedaan. Ada kalanya kedirian seorang tokoh baru tampak secara lebih jelas setelah berada dalam pertentangannya  dengan tokoh lain.
1.      Latar sebagai Unsur Fiksi
a.      Pengertian dan Hakikat Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu. Menyaran pada pengertian tempat hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981 : 175). Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sunguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa diipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya, disamping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar.
Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain tempat terjadinya peristiwa. Kita juga akan berurusan dengan hubungan waktu seperti tahun hujan gerimis di awal, atau kejadian yang menyaran pada waktu tipikal tertentu, dan sebagainya. Latar tempat berhubungan secara jelas menyaran pada lokasi tertentu dan pada waktu tertentu dapat disebut sebagai latar fisik (Phisical setting). Jadi latar spiritual adalah nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Latar spiritual dalam fiksi, khususnya karya-karya fiksi Indonesia yang ditulis belakangan, pada umumnya hadir dan dihadirkan bersama dengan latar fisik.
b.      Latar Netral dan Latar Tipikal
Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landastumpu, pijakan. Jika disebutkan sebuah kota, ia sekedar sebagai kota yang mungkin disertai dengan sifat umum sebuah kota. Jika disebutkan nama jalan misalnya malioboro, ia sekedar sebagai jalan raya yang mungkin disertai deskripsi sifat umum sebuah jalan raya.  Latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian disebut sebagai latar netral (neutral setting).
Latar tipikal memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Kehadiran latar tipikal dalam sebuah karya fiksi , dibanding dengan latar netral, lebih meyakinkan, memberikan kesan secara lebih mendalam kepada pembaca. Ia mampu memberikan kesan dan imajinasi secara konkret terhadap imajinasi pembaca.
c.       Penekanan Unsur Latar
Unsur latar yang diletakkan peranannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen tempat mendapat penekanan dalam sebuah novel, ia akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang merincikannya, yang sedikit banyak dapat berbeda dengan tempat-tempat yang lain. Kekhasan keadaan geografis setempat mau tak mau berpengaruh terhadap penokohan dan pemplotan.
2.      Unsur Latar
Unsur latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
a.      Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa  penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu.
b.      Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang di ceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.
c.       Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas.
Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna stempel daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Disamping berupa hal-hal yang telah dikemukakan, ia dapat pula berupa dan memperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu.
Masalah penamaan tokoh dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial. Nama-nama seperti pariyem, cokrosentono, Sri Sumarah, Martokusumo, Bei Sestrakusumo, Hendraningrat, Karman, Sukarya, Kartoredjo, dan lain-lain menyaran pada nama-nama jawa.
Status sosial merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar. Perbedaan status sosial, dengan demikian, menjadi fungsional dalam fiksi. Perlu ditegaskan bahwa latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi ia berada dalam kepaduannya dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu.
d.      Catatan Tentang Anakronisme
Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk dalam cerita, waktu yang dimaksud adalah waktu yang menjadi acuan yang berupa waktu dalam realitas sejarah, waktu sejarah.
Ketidak sesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya berupa masuknya “waktu”  lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya waktu “kini” ke dalam cerita yang mungkin berlatar waktu lampau.
Anakronisme dapat juga menyaran pada sesuatu yang tak logis, misalnya berupa seseorang yang semestinya tak memiliki benda atau kesanggupan tertentu. Namun dalam karya itu disebutkan memilikinya. Ankronisme dalam karya sastra tidak selamanya merupakan kelemahan dan atau kekurangan pengarang. Ia hadir dalam sebuah karya karena disengaja dan bahkan didayagunakan kemanfaatannya. Anakronisme sengaja dimunculkan untuk menjembatani imajinasi antara pembaca, pendengar, audience, dengan cerita yang bersangkutan. Ia dipergunakan untuk memudahkan pemahaman audience terhadap suatu karya dengan menghadirkan sesuatu yang sudah dikenal dan diakrabi pada masanya sesuatu yang sebenarnya justru bersifat anakronistis.
3.      Hal Lain Tentang Latar
a.      Latar sebagai Metafor
Penggunaan metafora menyaran pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Secara prinsip metafora merupakan cara memandang (menerima) sesuatu melalui sesuatu yang lain. Fungsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman (Lakoff & Johnson, 1980 : 36).
Novel sebagai sebuah karya kreatif tentu saja karya bentuk-bentuk ungkapan metafora, khususnya sebagai sarana pendayagunaan unsur stile, sesuai dengan budaya bahasa bangsa yang bersangkutan. Dalam kaitan ini adalah latar, latar yang berfungsi metaforik.

b.      Latar sebagai Atmosfer
Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan”. Ia berupa dekripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis,, sedih, muram, maut, misteri dan sebagainya. Suasana tertentu yang tercapai itu sendiri tak dideskripsikan secara langsung, ekplisit melainkan merupakan sesuatu yang tersarankan. Namun pembaca umumnya mampu menangkap pesan suasana yang ingin diciptakan pengarang dengan kemampuan imajinasi dan kepekaan emosionalnya.


BAB VIII
PENYUDUTPANDANGAN

1.      Sudut Pandang sebagai Unsur Fiksi
a.      Hakikat Sudut Pandang
Sudut pandang, pointof view, menyarankan  pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandanngan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuahkarya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981 : 142).
Sudut pandang merupakan suatu yang menyaran pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya  artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pambaca (Booth, dalam stevick, 1967: 89).
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam : persona pertama first –person, gaya “aku”, dan persona ketiga thirt-person, gaya “dia”.
b.      Pentingnya Sudut Pandang
Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Sebelum pengarang menulis cerita, mau tak mau, ia harus telah memutuskan memilih sudut pandang tertentu. Ia harus telah mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narator yang diluar cerita itu sendiri (Genette, 1980 : 244). Pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja, walau tak disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan rotorika juga penting dan berpengaruh. Namun, biasanya pemilihan bentuk-bentuk tersebut bersifat sederhana, disamping hal itu merupakan konsekuensi otomatis dari pemilihan sudut pandang tertentu (Genette, 1980 : 244).
Pemahaman pembaca pada sudut pandang akan menentukan seberapa jauh persepsi dan penghayatan bahkan juga penilaian terhadap novel yang bersangkutan (Stevick. 1967 : 117).
c.       Sudut Pandang Sebagai Penonjolan
Pengarang dapat saja melakukan penyimpangan terhadap penggunaan sudut pandang dari yang telah biasa dipergunakan orang. Dengan cara itu, ia ingin menarik perhatian pembaca sehingga segala sesuatu yang diceritakan dapat lebih memberikan kesan.
Penyimpangan sudut pandang lebih berupa pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang menceritakan itu, anak-anak dewasa, orang desa yang tak tau apa-apa, orang moderen, politikus, pelajar, atau yang lain. Masalah siapa tokoh yang bersangkutan ini penting dan menentukan sebab dari kacamata dialah segala sesuatu akan dipandang dan dikemukakan. Hal inilah yang saya sebut sebagai penyimpangan sudut pandang sebagai penonjolan suatu untuk memperoleh efek  tertentu.
2.      Macam Sudut Pandang
a.      Sudut Pandang sebagai Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga. Gaya “dia” narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan  tokoh-tokohcerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
Sudut pandang “dia” dapat dibedakan kedalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu di lain pihak ia terikat mempunyai keterbatasan “pengertian”  terhadap tokoh “dia” yang menceritakan itu, jadi bersifat terbatas. Hanya selaku pengamat saja.
(1)   “Dia” mahatahu
(2)   “Dia” terbatas, “Dia” sebagai Pengamat

b.      Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Dalam pengisahan cerita yang dipergunakan sudut pandang pesona pertama first-person point of fiew narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “Aku” tersebut.
Sudutt pandang persona pertama dapat dibedakan kedalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan di “aku” dalam cerita. Si “aku” mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama  protagonis mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.
c.       Sudut Pandang Campuran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Novel Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis

Hakikat Fiksi

Teori Formalisem Rusia