Teori Formalisem Rusia


Terlahir dari sekelompok teoritisi yang menamakan dirinya Opayaz, Formalisme Rusia (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut “kaum formalis”) dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap, gagasan-gagasan yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori sastra modern[1]. Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan “metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
Boris Eichenbaum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan oleh adanya gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kekangan intelektualisme dan moralisme yang diperjuangkan dan menjadi obsesi kaum simbolis. Mereka berusaha untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika subjektif yang didukung kaum simbolis (yang bersandar pada teori-teorinya Alexander Potebnya, seorang filologis Rusia yang terpengaruh Willhelm von Humboldt) dengan mengarahkan studinya itu pada suatu investigasi saintifik yang secara objektif mempertimbangkan fakta-fakta[2]. Di sisi ini, buah pikir dan gagasan kaum formalis tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para penyair Futuris Rusia yang kemunculan karya-karyanya pun merupakan reaksi untuk melakukan perlawanan terhadap poetika kaum simbolis tersebut.
Prinsip yang mendasari studi kaum formalis bukan dititikberatkan pada, “bagaimana sastra dipelajari”; melainkan lebih merujuk pada “apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri.” Bagi kaum formalis, sebagaimana yang ditegaskan Jakobson, “objek ilmu sastra bukanlah (kesu)sastra(an), melainkan kesastraannya (literariness)―yaitu yang menjadikan sebuah karya bisa disebut sebagai karya sastra.” Sedangkan di sisi lain, Eichenbaum menjelaskan bahwa karakteristik dari (cara kerja) kaum formalis hanyalah berusaha untuk mengembangkan ilmu sastra secara tersendiri, yang studinya lebih dikhususkan pada bahan-bahan kesastraan (literary material); mereka hanya menyarankan untuk mengenali fakta-fakta teoritis yang tersimpan di dalam seni sastra. Dalam hal ini, ide dan prinsip (dari studi) kaum formalis tersebut diarahkan untuk menuju pada suatu teori umum estetika.
Dengan demikian, kaum formalis sebenarnya mulai mencoba untuk melepaskan studi sastra dari hal-hal lain yang berdiri di luar dirinya. Mereka melihat sastra sebagai sebuah entitas otonom; (hanya) sebatas “poetika”. Dengan karakteristik gerakannya yang mereka sebut berusaha untuk menumbuhkan gairah baru bagi positivisme saintifik, mereka menolak setiap bentuk interpretasi terhadap karya sasra yang dikaitkan dengan asumsi filosofis, psikologis, estetis, dls.. Bagi mereka, seni harus dipertimbangkan terpisah dari estetika filosofis maupun teori-teori ideologis. Maka dari itu, mereka pun lebih memilih untuk menempatkan (objek) studi sastra secara spesifik pula yang keberadaannya bisa terbedakan dari objek ilmu-ilmu lainnya.
Kedekatan metode formal yang digagas kaum formalis dengan keberadaan ilmu lain hanyalah dengan linguistik. Hal ini menjadi bisa dimungkinkan karena linguistik merupakan ilmu yang bersentuhan (secara langsung) dengan “poetika” yang menjadi titik perhatian bagi (objek) studi mereka. Kendatipun demikian, kaum formalis ini memang boleh dikatakan mendekati linguistik dari perspektif dan permasalahan yang berbeda. Hal ini setidaknya terlihat dari ketertarikan mereka terhadap linguistik dalam relevansinya dengan bahasa yang menjadi sarana artikulasi sastra. Dalam hal ini, kaum formalis menyikapi komponen-komponen linguistik yang tersedia di dalam bahasa (fonetik, morfem, sintaksis, maupun sematik; begitu pun halnya dengan ritma, rima, matra, akustik/bunyi, aliterasi, asonansi, dls.) [3] sepanjang hal itu dimanfaatkan (oleh pengarang[4]) sebagai sarana untuk mencapai tujuan “artistik” (untuk menghasilkan efek-efek estetik). Perhatian pada kata-kata nonsens dalam karya-karya para penyair futuris Rusia sebagaimana yang dianalisis oleh Shklovsky, misalnya, bisa ditunjuk sebagai contoh dalam kaitannya dengan masalah tersebut.
Persoalan yang berkaitan dengan masalah bahasa, pada dasarnya telah dikedepankan oleh kaum formalis ketika mereka memandang perlu untuk membedakan berbagai ragam (pemakaian) bahasa. Di sini mereka telah membedakan antara ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis/prosais (Jakubinsky)[5] dan ragam bahasa puitik dengan bahasa emotif/emosional (Jakobson). Dalam pandangan mereka, pembedaan tersebut menjadi sangat penting karena masing-masing ragam (pemakaian) bahasa itu memiliki dan menyediakan konteks/tujuan, fungsi[6], nilai, dan hukum-hukumnya sendiri.
Gagasan perihal bentuk (form) dan isi (content) yang dikedepankan kaum formalis mulai menyingkirkan pandangan tradisional yang melihat bentuk semata-mata hanyalah “kemasan” untuk isi. Bagi kaum formalis, bentuk merupakan sesuatu yang komplet, konkret, dinamis, dan berdiri sendiri. Kaum formalis memahami bahwa bentuk membawahi “makna” pula; bila bentuk diubah, maka isi pun secara otomatis akan berubah. Dengan kata lain, aspek bentuk ini akan bisa mendeterminasi isi[7].
Korelasi lebih lanjut dari ketertarikan kaum formalis pada aspek bentuk ini adalah dengan gagasan mengenai teknik[8]. Dalam hal ini kaum formalis berpandangan bahwa persepsi bentuk merupakan hasil dari pengoperasian teknik-teknik artistik khusus yang memaksa pembaca untuk memperhatikan kehadiran bentuk tersebut. Selain untuk kebutuhan artistik, dalam pandangan kaum formalis keberadaan teknik pun diperlukan untuk membuat objek (yang dideskripsikan) “sulit dikenali”, menjadikannya tidak lazim, dan memperpanjang persepsi (pembaca) karena proses persepsi merupakan akhir estetika dalam dirinya dan mesti diperluas[9].
Teori mengenai plot dan fiksi mesti dicatat pula sebagai gagasan yang cukup penting yang dikedepankan oleh kaum formalis. Konstruksi plot menjadi subjek dasar dari kaum formalis semenjak plot didapati menyimpan kekhasan dalam seni naratif[10]. Dalam analisisnya, Shklovsky menunjukkan kehadiran sarana khusus dari “konstruksi plot” dan hubungannya terhadap sarana stilistik umum dalam berbagai keragaman bahan, yang kemudian disebutnya sebagai skaz[11]. Dalam kaitannya dengan masalah ini Shklovsky sekaligus menyingkirkan pandangan sebelumnya yang memandang plot sebagai sinonim dari cerita (story). Bagi Shklovsky, cerita hanyalah bahan untuk memformulasikan plot; sementara plot itu sendiri menempati posisinya sebagai struktur.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum formalis mulai melirik pada masalah perkembangan sastra dan sejarah sastra. Perubahan studi mereka pada wilayah sejarah sastra bukanlah ekspansi sederhana; hal itu dihasilkan dari perkembangan konsep mereka perihal bentuk[12]. Mereka menemukan bahwa mereka tidak dapat melihat karya sastra dalam isolasi; bentuknya harus dilihat dengan latar belakang karya lain daripada lewat bentuk yang ada pada dirinya sendiri[13]. Sementara itu, di dalam studi sejarah sastra itu pun mereka agaknya tetap pada karakteristinya untuk tidak hanya menurunkan konklusi historis, namun konklusi teoritis juga; mereka mengedepankan masalah teoritis baru untuk sekaligus menguji yang lama.
Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal yang mendalami suatu karakter khusus dengan tetap mempertahankan independensinya, terlepas dari kultur lainnya. Mereka tetap membatasi secara khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin berusaha untuk tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung―pada hubungan dan karespondensi yang tidak terbatas―yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah bisa menjelaskan perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak mengedepankan pertanyaan perihal biografi dan psikologi (pengarang)―yang bagi mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks. Mereka hanya tertarik pada masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan, sejauh hal itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi mereka, fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa personalitas–studi sastra sebagai fenomena sosial yang terbentuk sendiri[14].
Sejumlah gagasan yang dikedepankan oleh kaum formalis, dalam beberapa hal dipandang masih menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Setidaknya ini dicatat oleh Leon Trotsky. Meskipun Trotsky mengakui bahwa gagasan-gagasan yang diajukan oleh kaum formalis itu menyimpan nilai penting, namun Trotsky menyikapi kaum formalis sebagai sebuah kelompok yang arogan dan tidak matang. Trotsky yang melihatnya dari perspektif materialisme-Marxis, pada intinya menilai bahwa gagasan kaum formalis sama sekali mengabaikan kompleksitas sosial-kemasyarakatan yang menjadi basis dari energi penciptaan, dan tempat karya itu hadir di tengah lingkungan masyarakatnya. Dengan dialektika materialistiknya itu, Trotsky menyikapi bahwa dari sudut pandang historis-objektif karya seni selalu berperan sebagai abdi sosial dan berfaedah dalam sejarahnya. Di sisi ini, Trotsky mencermati jika kaum formalis agaknya hanya menunjukkan kepercayaannya pada “kesaktian kata-kata”, sehingga tidak bisa membawa gagasan perihal seninya itu pada konklusi yang logis; mereka hanya memperlihatkan bahwa proses kreasi puitik seolah-olah telah cukup hanya dengan mempersoalkan kombinasi bunyi dan sederetan kata-kata, yang pada gilirannya akan bisa terselesaikan pemecahannya itu lewat suatu “formulasi puitik” sebagaimana kombinasi dan permutasi aljabar.

* * *

•) Catatan mengenai Formalisme Rusia yang saya tulis ini merupakan resume dari hasil bacaan, terutama, atas esai Art as Technique-nya Victor Shklovsky, The Theory of the “Formal Method”-nya Boris Eichenbaum, dan The Formalist School of Poetry and Marxism-nya Leon Trotsky. Kendatipun kedua esai yang disebut pertama merupakan dua esai terpenting yang menandai gerakan dan sederet gagasan Formalisme Rusia, namun tidak urung—dengan hanya bertolak dari dua esai itu—ada beberapa gagasan penting yang dikedepankan kaum formalis, menjadi tidak bisa terketengahkan dalam catatan ini: gagasan perihal “konsep dominan” yang dilontarkan Roman Jakobson, misalnya. Adapun esai Trotsky kehadirannya menjadi cukup penting dalam hubungannya dengan gerakan Formalisme Rusia berkenaan dengan sejumlah pandangannya yang mengkritik teori yang dirumuskan oleh kaum formalis tersebut.
[1] Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. menyebut secara tegas hal tersebut. Sebutan itu agaknya memang menjadi tidak terlalu berlebihan. Gerakan otonomi dengan kecenderungan telaahnya yang “objektif-ergosentris” memberi ciri saintifik yang diperlukan bagi studi akademis. Teori Strukturalisme yang kemudian berkembang pun banyak mengadopsi gagasan-gagasan Formalisme Rusia (sehingga Formalisme Rusia ini sering disebut pula sebagai proto-strukturalisme). Sementara itu, jika kita mencermati buku-buku teks teori sastra (terutama yang membahas secara historiografis-kronologis), maka kita (hampir) akan selalu mendapatkan bahasan mengenai Formalisme Rusia hadir pada bagian (paling) awal.
[2] Dalam hal ini, fakta awal yang didapatkan kaum formalis adalah adanya perbedaan antara bahasa puitik dan bahasa praktis. Dalam pandangan Shklovsky, telaah puitika saintifik haruslah dimulai secara induktif dengan membangun sebuah hipotesis yang mengakumulasikan bukti. Hipotesis tersebut adalah bahwa bahasa puitik dan bahasa prosaik (praktis) itu ada, bahwa hukum-hukum yang membedakannya ada, dan akhirnya, perbedaan-perbedaannya itulah yang dianalisis.
[3] Hal-hal yang berkaitan dengan komponen-komponen linguistik dan bahan-bahan kesastraan yang tersedia di dalam bahasa sebenarnya mendapatkan perhatian yang serius dari kaum formalis. Berbagai analisis dan telaah mengenainya kemudian menghasilkan gagasan-gagasan yang cukup signifikan dalam perkembangan studi dan teori mereka. Satu yang bisa dicatat di sini adalah gagasan mengenai ritme yang dipandang sebagai unsur pembangun dari puisi secara keseluruhan yang mengantar untuk memahami puisi sebagai suatu bentuk ungkapan khusus yang menyimpan ciri-ciri linguistik secara khusus pula (dilihat secara sintaktikal, leksikal, maupun semantis).
[4] Pengarang yang dimaksud oleh kaum formalis di sini adalah hanya sebatas motivasi individu yang (secara distinktif) memanfaatkan dan mengolah bahan dan sarana kesastraannya—demikian pula halnya dengan teknik—di dalam karyanya, dengan tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan biografi maupun psikologi pengarang itu sendiri.
[5] Persoalan yang berkaitan dengan pembedaan antara bahasa puitik dengan bahasa praktis yang dikedepankan Jakubinsky ini tampaknya merupakan titik keberangkatan dari kelahiran gagasan-gagasan kaum formalis. Dalam esai Shklovsky maupun Eichenbaum, masalah perbedaan ini begitu kerap disinggung. Shklovsky, misalnya, bertolak dan mengedepankan perbedaan antara bahasa puitik dan bahasa praktis/ prosais ketika ia mengajukan keberatan dan penolakannya atas teori-teorinya Potebnya. Dalam hal ini, Shklovsky memandang, citraan (simbolisasi) bukanlah merupakan perbedaan yang spesifik di antara bahasa puitik dan bahasa praktis sebagaimana yang dipahami kaum simbolis (puisi=citraan, citraan=simbolisme). Yang justru membedakan di antara keduanya adalah persepsi strukturnya itu sendiri.
[6] Gagasan mengenai fungsi boleh dicatat sebagai gagasan paling penting dalam teori-teori yang dikemukakan oleh kaum formalis; menjadi foreground bagi studi mereka. Kerja mereka yang diarahkan untuk melihat bahan-bahan spesifik, kekhususan sarana struktural, dan berusaha untuk menunjukkan identitasnya dalam keragaman bahan, telah memaksa mereka untuk berbicara mengenai fungsi dan sekaligus menjadi usaha bagi mereka untuk membedakan dan memahami fungsi sarana itu pada masing-masing kasusnya. Maka menjadi suatu hal bisa dipahami apabila dari sederet tesis general yang dikedepankannya, mereka hampir selalu menyertakan gagasan tentang fungsi ini. Berawal dari gagasan mengenai fungsi ini pula, kaum formalis kemudian bisa merevisi gagasan-gagasan mereka mengenai sarana; hingga hal ini pun berdampak pada teorinya sendiri yang pada akhirnya menuntut mereka untuk kembali menengok sejarah.
[7] Sebelum akhirnya pemaham mengenai bentuk ini direvisi: “bentuk baru tidaklah mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang telah kehilangan kualitas estetiknya” (Shklovsky). Dengan adanya pemahaman baru mengenai konsep bentuk inilah yang kemudian menggiring kaum formalis untuk memasuki wilayah studi perkembangan dan sejarah sastra. Pada konteks relasi yang berkenaan dengan aspek bentuk dan isi ini pula yang telah membedakan gagasan Formalisme Rusia dengan formalisme yang dikembangkan oleh kalangan New Criticism di Amerika. Dalam hal ini, kalangan New Critic memandang, aspek isilah yang akan bisa mendeterminasi bentuk.
[8] Keterkaitan antara aspek bentuk dan teknik ini menjadi tidak bisa dipisahkan dari gagasan-gagasan kaum formalis berkenaan dengan kecenderungan studi mereka yang lebih mengkhususkan diri pada masalah bahan (material) dan sarana/alat (device) kesastraan. Lebih dari itu, karena dipandang berhubungan secara langsung dengan ciri yang membedakan antara ungkapan puitik dengan praktis, gagasan mengenai teknik sebenarnya menjadi lebih signifikan dalam ruang lingkup perkembangan formalisme daripada gagasan bentuk. Bahkan, metode formal sendiri dianggap menjadi kontroversial karena fokus studinya yang lebih merujuk pada masalah teknik ini.
[9] Dalam pandangan Shklovsky, seni berarti menghancurkan persepsi dari yang tadinya otomatis menjadi tidak otomatis; tujuan dari imaji bukanlah untuk menghadirkan makna dari objek yang dideskripsikan pada pemahaman kita, melainkan untuk membentuk suatu persepsi khusus dari objek tersebut―membentuk visinya sendiri, dan tidak untuk mengenali maknanya. Dengan titik tolak seperti inilah Shklovsky kemudian mengedepankan konsep yang disebut teknik defamiliarisasi.
[10] Munculnya teori tentang plot tersebut mulai membuka kaum formalis untuk berdekatan dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan studi prosa. Lebih dari itu, penjelasan mengenai tipikal teknik konstruksi plot telah memberi peluang bagi mereka untuk berlanjut menelaah masalah sejarah dan teori novel. Hal ini telah mempengaruhi keseluruhan rangkaian studi, bukan hanya dari mereka yang tergabung dalam Opayaz saja, melainkan juga dari mereka yang tidak berhubungan secara langsung dengannya; Mikhail M. Bakhtin boleh ditunjuk sebagai salah satu dari mereka yang gagasan-gagasannya―terutama mengenai (teori) novel―mengadopsi gagsan kaum formalis ini.
[11] Satu hal yang agaknya perlu diperhatikan, di dalam buku-buku teori sastra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (di antaranya Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. dan Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, Rahman Selden), dalam bahasannya mengenai Formalisme Rusia term skaz ini tidak pernah muncul. Yang muncul adalah term suzjet. Dengan mencermati deskripsi yang dikedepankan Shklovsky di atas, apakah skaz yang dimaksud itu adalah suzjet? Sebagai bahan perbandingan, dalam kaitannya dengan masalah plot yang digagas oleh kaum formalis ini (Shklovsky), Luxemburg menyodorkan tiga pengertian: motif, sebagai kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan; fobula, sebagai rangkaian motif dalam urutan kronologis; dan sujzet, sebagai penyusunan artistik motif-motif tersebut, akibat penerapan penyulapan terhadap fobula.
[12] Esai Shklovsky, The Relation of Devices of Plot Construction to General Devicse of Style, sebagaimana dicatat Eichenbaum, telah menandai perubahan kaum formalis dari studi teoritis pada studi sejarah sastra. Tesis Shklovsky yang menyatakan bahwa karya seni muncul dari latar belakang karya lainnya dan melewati asosiasi dengannya; setiap bentuk karya seni diciptakan paralel dan sekaligus berlawanan dengan bentuk lainnya; dan, tujuan dari bentuk baru bukanlah untuk mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang telah kehilangan kualitas estetiknya, memberi fakta baru pada mereka tentang ciri-ciri baru perkembangan dinamis dan variabilitasnya yang terus menerus.
[13] Pandangan ini kemudian lebih teraktualisasikan dalam tesis Jakobson―Tynyanov ( 1928 ) yang pada intinya (mulai) menolak formalisme yang mekanistis. Mereka mengusahakan untuk tidak hanya melihat perspektif kesusastraan secara sempit, namun dengan mencoba untuk mulai mengaitkan rangkaian sistem kesusastraan dengan rangkaian kesejarahan yang lain: “We cannot understand literary develovment as long as the problem of evolution is overshadows by questions of episodic and unsystematically conceived genesis, both literary (literary influence) and extraliterary. Literary and extraliterary materials used in literature may be placed within the scope of scientific research only if judged from the functional viewpoint [....] The problem of concrete choise of direction, or at least of its dominant, can be opproached only through analyzing the relations of the literary series to other historical series. The interrelatedness (the system of system) has its analyzable structural laws. It is methodically pernicius to examine the interrelatedness of system without keeping in mind the immanent laws of every particular system” (Vodicka, 1972, h.7)
[14] Ini merupakan karakteristik yang menandai awal kerja kaum formalis dalam studi sejarah dan perkembangan sastra (sebelum dikembangkan lebih lanjut oleh Jakobson dan Tynyanov). Di sini, gagasan dari perkembangan sastra yang dikedepankannya tanpa mengusung ide kemajuan dan pergantian yang statis, tanpa ide realisme dan romantisme, tanpa memperhitungkan bahan-bahan ekstra-sastra. Mereka masih melihat sastra sebagai suatu kelompok fenomena yang spesifik dan bahan-bahan yang spesifik. Mereka hanya berusaha untuk menjelaskan fakta-fakta historis yang konkret, fluktuasi, dan perubahan bentuk, untuk memperhitungkan fungsi-fungsi spesifik dari sarana-sarana yang ada―dengan kata lain, di sisi inilah mereka ingin menemukan batas antara karya sastra sebagai fakta sosial yang definit dan suatu interpretasi bebas dari sudut keperluan sastra kontemporer, selera, atau ketertarikan. Dengan demikian, mereka menyebut bahwa gairah dasar dalam studi sejarah sastra mereka adalah gairah untuk mendestruksi dan menegasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Hazard (ed.). 1992. Critical Theory Since Plato. Harcourt Brace Jovanovich College Publishers
Eichenbaum, Boris. The Theory of the “Formal Method”, dalam Adams (ed.), h.801—16
Luxemburg, Jan van, dkk.. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Cet.-3. Jakarta: Gramedia.
Bakhtin, Mikhail M.. Epic and Novel: Toward a Methodology for the Study of the Novel, dalam Adams (ed.), h.839—855
Newton, K.M.. 1994. Menafsirkan Teks. Semarang: IKIP Semarang Press.
Selden, Rahman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Cet.-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Shkovsky, Victor, Art as Technique, dalam Adams (ed.), h. 751—59
Trotsky, Leon. The Formalist School of Poetry and Marxism, dalam Adams (ed.), h.792—799
Vodicka, Felix. 1972. The Integrity of the Literary Process: UIT Poeties 4, h.5—15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Novel Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis

Hakikat Fiksi